Bakat Itu Taik. Jadi, Berproseslah!

“… seakan-akan bakat itu adalah sebuah kealamiahan seperti taik yang alamiah dan manusiiah. Bahkan bukankah untuk menjadi taik, si taik pun butuh proses panjang di dalam usus. Maka jadilah tak sekedar taik. Berproseslah!” — Noalsya

Percayakah kamu bakat itu ada? Saya tidak pernah percaya dengan bakat. Bahkan harusnya bakat itu tidak pernah ada dalam kamus manapun di dunia ini. Tolong bedakan Bakat dengan Anugerah secara terminologis—”Bakat (ability) VS Anugerah (gift)“.

Kadang kita terjebak dalam artian bakat sebagai pemberian yang ada begitu saja sejak lahir, yang telah ada sejak lahir, dan yang tak semua orang mendapatkannya, hanya orang-orang tertentu saja yang diberikan. Seakan-akan jika ‘yang memberi itu’ adalah Tuhan, maka Tuhan adalah Tidak Maha Memberi, karena Tuhan memberikannya masih pilih-pilih, bukankah Tuhan Maha Pemberi, bahkan semut didalam tanah saja diberikan makanan oleh Tuhan.

Oleh Kerena itu, bagi saya, bakat itu adalah konstruksi, bakat itu kreasi, bakat itu adalah proses.

Tahun 2010, saya bergabung dengan Purwacaraka Music School di Monjali, di sana saya berjumpa banyak sekali anak-anak kecil yang kepandaian mereka dalam bermusik mampu membuat saya malu dan minder. Tidak tahan karena di Purwacaraka kebanyakan anak kecil, SD, dan SMP. Tahun 2011, akhirnya saya yang sudah tua itu pindah ke Ahmad Dhani School of Rock (ADSOR) di Pogung, dan ternyata sama. Disana di ADSOR juga ada anak-anak, bahkan anak TK pun ada. Namun masih lumayan, karena ada mahasiswa juga yang les di ADSOR, setidaknya saya masih punya teman yang sebaya (yang juga masih bodoh soal musik).

Anehnya, di sana saya berkenalan dan berteman dengan Robert (sebenarnya ini awalnya hanya modus, karena saya ingin mendekati kakaknya Robert yang bernama Liza :D). Robert adalah anak berumur 4 tahun yang saat itu sama-sama mengambil kelas piano. Kami punya guru yang sama, namanya mas Roy Gondrong. Dan saya malu setiap kali ujian dan sekelas dengan Robert.

Walaupun dalam kelas, Robert lebih banyak main dari pada belajar, justru dari main itulah dia benar-benar bermain piano. Lihat saja, baru sekali pencet nada, atau sekali main straight chord, dia langsung memukul-mukul dan mencet tuts piano sembarangan, sampai keluar bunyi gaduh gak karuan dalam Piano, lalu kemudian dia lari keluar kelas, membuka pintu kelas sebelah mengganggu kakaknya yang sedang les. Bang Roy sebagai gurunya, membiarkan saja, mengikuti alur si anak belajar.

Tapi dari situ saya jadi malu karena saya terlalu serius dalam bermain, yang jadinya permainan saya sangat-sangat-sangat jelek dibanding Robert. Bang Roy selalu menjadikan Robert sebagai motivasi saya, “play it, like a kid”. Walaupun demikian, setiap ujian saya selalu gagal. Bang Roy selalu ingin saya bermain sebermain-mainnya, tapi yang ada saya selalu terbawa tegang dalam belajar memainkan piano. Dari sini saya belajar bahwa, jika itu adalah permainan, maka bermainlah. “Begitu pula hidup, life is a game, bermainlah dan hiduplah.”

IMG_1432-ed

Kenang-kenangan perpisahan: Setangkai Mawar dari Elizabeth Sanjaya Yang Terkasih, dan Pin “Ahmad Dhani School of Rock” dari Bang Roy Sang Guru, dan Korg X5D dari Mami Vanessa dan Adikanda Robert Aleksander Sanjaya.

Kegagalan saya bermain terlihat saat saya memainkan komposisi Beethoven, Bagatelle No. 25 yang merupakan karya paling mudah dari Beethoven, dan saya masih harus berjuang keras, tapi Robert bahkan sudah mampu memainkan komposisi sekelas Nocturnes Opus, dan Piano Trio Op.8 dari Chopin dengan Allegratto sampai Presto. Dan untuk kelas Beethoven, dia sudah jago di Piano Sonata No. 14. Gilak!!!

Saya lalu bertanya sambil bercanda pada kakaknya yang sering mengantarnya les,

“itu dulu waktu hamil, didalam perut ibunya ada piano juga ya? kok Robert bisa jago gitu?”

“Gak lah. Hahaha… Dia baru aja belajar kok!”

Jawabannya ternyata tidak. Dan iyalah, tentu tidak! Tapi semua dimulai saat Robert masih dikandungan. Kakaknya, Liza yang saat itu juga mengambil kelas Biola di (ADSOR), bilang kalau memang ibunya telah ingin Robert menjadi pianis, dan sering didengarkannya komposisi dengan headphone di perut hamilnya itu. Saat umur dua tahun, Robert sudah diberi akses ke keyboard, lalu umur 3 tahun ia diberi mainan grand piano. Dan Robert tidak suka dengan mainan lainnya, seperti robot dan mobil-mobilan seperti anak kecil kebanyakan, dia hanya suka mencoret-coret dinding dan memukul-mukul tuts keyboard dan piano kalau sudah bosan mencoret dinding.

Dari sana saya berkesimpulan, bahwa BAKAT ITU TAIK.

Bagaimana tidak taik, banyak orang yang memuja-muja bakat. Jika ada seseorang yang sukses dibidang tertentu, seni seperti musik, sastra, bahkan sains, dan lain sebagainya, dia akan dikatakan sebagai orang yang berbakat. Seakan-akan bakat itu adalah sebuah kealamiahan seperti taik yang alamiah dan manusiiah. Bahkan bukankah untuk menjadi taik, si taik pun butuh proses panjang di dalam usus. Jadi, tidak ada yang tidak melalui proses, bahkan taik sekalipun. Maka jadilah tak sekedar taik. Berproseslah!

Tidak ada manusia yang lahir dengan bakat, yang ada hanyalah konstruksi. Robert adalah proyek konstruksi ibunya. Ia menjadi jago piano diumur yang belia karena sejak didalam perutpun ibunya sudah mendengarkan dia komposisi klasik, dan diumur 2 tahun robert sudah berinteraksi dengan keyboard, umur 3 tahun ia sudah diberi akses memukul-mukul piano. Dan saya yakin, Robert, akan menjadi pianis terbaik Indonesia saat dia dewasa nanti. Iya, dewasa nanti. Long time no see, son!

Karena dia akan melalui proses yang panjang sejak dari rahim ibunya, makanya dia pantas menjadi terbaik. Pelajarannya, kita mengatakan seorang anak itu berbakat bermain komposisi piano klasik, karena kita melihat dia bermain di sebuah panggung konserto bersama orkestra. Namun kita tidak tahu berapa puluh jam sehari anak itu berlatih memukul jemarinya di atas tuts piano dan berapa hari dalam seminggu anak itu bercengkrama dengan piano dan notasi-notasinya.

Process is everything. Begitulah kata Robin Black. Baca tulisannya disini.

Sejak saya mengenal Robert (tentu, juga mengenal dan menjalin hubungan dengan Liza) saya mulai belajar berproses. Dan akhirnya saya kewalahan berproses di bidang musik. Rasanya saya telah terlambat jauh, tapi Liza selalu mendorong saya, “Kamu memang terlambat, tapi belum telat. Semua ini proses kok!” disana saya menemukan sedikit serpihan semangat, tapi lama-kelamaan mulai memudar setelah kepergiannya.

Tak lama kemudian, Liza, Robert dan keluarganya pindah ke Jakarta, akhirnya saya tidak tahan lagi dengan ujian-ujian triwulan di ADSOR, dan juga kewalahan belajar menulis notasi dan membaca notasi, akhirnya saya bercerai dengan musik klasik, lalu beralih kel lain hati, beralih ke musik elektronik. Ini kemudian saya jadikan pengalaman sekaligus pembelajaran penting dalam hidup saya.

Kemudian saya menyadari, saya akhirnya lebih jatuh cinta dengan berproses di bidang menulis. Saya tahu saya mencintai dunia menulis, karena setelah melewati lima tahun, saya masih tetap mencintai menulis dan passion saya tidak luntur. Tidak seperti hal yang lainnya yang saya lakuin, yang hanya 1-2 tahun saja, saya sudah kehilangan passion di bidang itu.

Menulis itu seperti bercinta, kalau mau ejakulasi kamu harus melakukan proses penetrasi. Didalam disana, dalam penetrasi akan kamu dapatkan orgasme. Dan orgasme adalah kenikmatan surga yang direplika di bumi ini.

Saya akan melanjutkan tulisan tentang “Sex on Writing” besok terkait bercinta, penetrasi, ejakulasi, dan orgasme dalam menulis.

Leave a comment