Epistemologi Pacar, Pacaran, & Jatuh Cinta: Antara Komodifikasi dan Konstruksi

“A person has two passions for love and abhorrence. A big disposition to excessiveness has just a love, because it is more ardent and stronger.” — René Descartes

Sebagai seorang manusia, jatuh cinta mungkin dianggap sebagai sebuah keluhuran rasa yang ada begitu saja, kejadiannya seperti keajaiban, alamiah, penuh koinsiden emosional. Tapi bagi saya, jatuh cinta itu hanya persoalan konstruksi. Lihat postingan saya sebelumnya Manusia, Puisi, dan Jatuh Cinta. Saya bahkan bisa mengkonstruksi jatuh cinta, dan bahkan bisa saya komodifikasikan. Jatuh cinta bagi saya kemudian adalah sebuah komoditas, yang dapat diubah dari nilai guna ke nilai tukar. Saya akan menuliskan hal ini pada kesempatan lain di blog ini terkait komodifikasi cinta yang lebih kompleks lagi.

Setelah soal cinta dan jatuh cinta, muncul juga istilah pacar, dan pacaran maupun istilah serupa. Namun sayang disayang tidak ada terminologi itu dalam historiografi saya, karena yang ada hanyalah istilah partner. Pacar dan pacaran itu adalah terminologi yang telah kabur, membuat manusia berada dalam keirasionalan entitasnya. Term pacar dan pacaran telah mematikan kreatifitas dan produktifitas manusia, karena yang ada dalam pacaran hanyalah dialektika romansa dan konflik. Mesra-mesraan, curhat-curhatan, korban-mengorbankan, larang-melarang, terus ngambek-ngambekan, marah-marahan, terus maaf-maafan, terus mesrah lagi, curhat lagi, larang-melarang lagi, ngambek lagi, terus marah-marahan lagi, terus aja gitu sampai Bon Jovi bikin album duet Koplo Pantura.

Setelah sampai pada pencerahan romansa, sejak enam tahun lalu, saya menolak keras terminologi “pacaran”, “pacar”, “pacari”, “memacari”, karena sepengalaman saya secara aksiologis pacaran tidak memberikan guna apa-apa selain hubungan dialektis tersebut. Di jaman SMA delapan tahun lalu, saya adalah anak kelas IPA, disana saya belajar Biologi, DNA, dan Anatomi, lalu saya melanjutkan mempelajari Psikologi Komunikasi saat Kuliah S1, saya berkenalan dengan proses jatuh cinta yang relasinya dengan hormon-hormon lalu kemudian belajar tentang Hubungan Interpersonal, tentang teori-teori cinta baik dari para pemikir Frankfurt School seperti Erich Fromm dan lain sebagainya, sehingga saya sampai pada sebuah kesimpulan yang sangat cukup rasional bahwa, cinta bukan persoalan emosional, tapi persoalan hormonal. Dan persoalan hormonal, bisa di kontruksi dan diciptakan.

Secara epistemologis, dalam pacaran telah hilang makna-makna kooperatif, yang ada hanyalah kooptasi energi negatif yang dialektis itu. Hal ini berbeda jauh dengan partner, didalam partner ada kerjasama yang kooperatif dan sifatnya simbiosis mutualisme. Partner itu mengacu pada rekan kerja yang seimbang, bukannya status kepemilikan.

Ingat, pacarmu, kekasihmu bukan milikmu, kawan! Dia adalah milik bapak dan ibunya di rumah, kawan! Jelas kalau mau memilikinya, silahkan lamar dia! Sebelum dilamar, janganlah berandai pacarmu ibarat sepetak tanah yang telah kau miliki secara legal atas selembar sertifikat validasi dari pernyataan cintamu saat ritual penembakan dahulu.

Sekarang pertanyaannya, masih mau pacaran? Yang jomblo, masih mau cari pacar? atau mau cari partner?

Kan enak tuh, kalo ditanya, “eh itu pacar lo ya?”

Lalu anda jawab, “bukan! Dia bukan pacar gue. Dia partner gue.”

Wih asik kan! Setidaknya, anda tidak mematahkan semangat si penanya itu, semisal dia sedang pedekatein diri anda. Karena dalam otaknya, partner, oh! pasti teman kerja/teman kantor. Lalu menganggap anda sebagai single. Dan dia maju pantang belok, dengan semangat 45 memperjuangkan untuk mendapatkan anda, memberikan seribu kebaikan, fasilitas, dan investasi waktu dan energi demi tercapainya cita-cita luhurnya, yakni agar cintanya diterima oleh anda, demi untuk memiliki anda seutuhnya, dari ujung kaki hingga ujung rambut. Bah!!!

Sekian dulu warna lain dari tulisan blog saya. Rasanya akan sangat membosankan jika saya terus menerus hanya memosting tentang Writing Progress makanya saya berinisiatif untuk melakukan diversitifikasi penulisan di blog ini. Terkait #DereconstructionProgress FTWMA, saya baru saja mengalami sandungan keputusan terbesar dalam penulisan FTWMA kedepan, yakni perubahan sudut pandang pengarang atau point of view. Ini akan saya tulisankan bahasan tersebut esok hari.

 

Jangan lupa bahagia!

Leave a comment