(Re)writing FTWMA: Narkoba, Penjara, dan Politisasi Kisahan Kasih dan Cinta

“Half my life is an act of revision.” — John Irving

Narkoba. Sebuah kata yang muncul ketika saya duduk menghadap ke tembok selama hampir satu jam mencoba memikirkan prolog dan epilog untuk mengutuhkan kembali pengisahan Frankfurt: Till We Meet Again.

Setelah membuat mind-mapping kisahan dari awal sampai akhir, hari ini selain mengkhatamkan buku dari Dr. Sindhunata “Dilema Usaha Manusia Rasional” yang juga bercerita soal Max Horkheimer [pemikirannya diwakili oleh tokoh bernama Aleksei] (rasanya cukup membantu memperkaya pengalaman sejarah saya terkait penulisan ini), saya membuka kembali prolog cerita dimulai dari keberangkatan Feliks dan Livvi buah hatinya dari Frankfurt menuju ke Paris, dan setibanya di stasiun Gare de l’Est, ia ditangkap. Saya membayangkan imaji pengisahan bagaikan sebuah lubang jarum dipadang pasir yang dapat menghisap kita kedalamnya dan merubah seluruh cerita hidup kita. Singkat cerita, di koper Livvi, anaknya tersebut, diemukan beberapa gram kokain dan heroin. Singkatnyapula, ia akhirnya dipenjara karena barang bukti itu dan hasil tes darah dan urin terdapat senyawa heroin. Disini kokain dan heroin itu bukan miliknya. Singkatnya juga ia di jebak. Adalah cerita akan sangat biasa jika dia tertangkap karena dia mengedarkan Narkoba, tetapi saya mencoba membuat cerita sekompleks mungkin tentang adanya konspirasi besar tentang Revolusi Frankfurt yang berawal dari kejadian Feliks dimasukkan ke penjara. Karena disana dia telah dijebak dan disetting dan akan bertemu dengan Olsenbandie (seorang pengedar narkoba terbesar di Eropa, yang menjadi penyokong dana pemilu bagi banyak politisi di beberapa negara di Eropa barat). Isu politik mau saya buat lebih kental melampaui isu kriminal semata.

Tugas terberat saya mulai hari ini, pertama, ialah memulai lagi dari awal riset tentang kota Paris, terutama tentang stasiun Gare de l’Est, dan penjara Fleury-Mérogis. Dulu saya menghabiskan 4 bulan untuk riset kota Frankfurt. Semoga Paris selesai dalam 4 minggu. Adalah yang lebih berat dari ini semua, ialah mempelajari hukum pidana narkoba yang berlaku di Prancis untuk menentukan berapa tahun Feliks di penjara, dan bagaimana tata cara ‘naik banding’ hingga nantinya ia hanya menjalani hukuman selama lima atau sepuluh tahun saja. Jika lebih dari sepuluh tahun tentu ini terlalu lama, karena pertimbangan kisahan soal anak gadisnya, buah hati cintanya yang nantinya ia temui setelah bebas dari penjara, serta keinginannya untuk menemui isteri terkasihnya yang telah menceraikannya untuk meminta maaf. Namun saya ingin membuat sebuah kejutan, adanya keterkaitan isterinya dengan penjebakkan Feliks di Paris hingga ia dipenjara.

Yang kedua saya harus mencari film yang memakai lokasi penjara Fleury-Mérogis, untuk mengetahui kondisi dalam penjara. Setahu saya, penjara ini adalah penjara dengan konsep desain Panopticon dari Jeremy Bentham, yang kemudian dijadikan sebagai konsep kajian oleh Stuart Hall. Ini memungkinkan saya untuk mengekspansikan materi lebih luas lagi.

Finally, secara metaforik narkoba berguna sebagai pelumas pengisahaan cerita (saya) saat ini, tapi secara aksiologik “jangan pernah kau coba-coba. Narkoba tak ada gunanya!” Begitulah penggalan lirik yang dituliskan oleh guitaris saya jaman SMA dulu, Bibo Zulfikar Almeccano, saat pementasan band kami di Hari Anti Narkoba Internasional, 26 Juni 2007.

Leave a comment