(Re)writing FTWMA: Terjebak antara Nafsu, Birahi, dan Hasrat

“I’m a passionate believer in revision, and a lot of my writing gets done during revision process. It isn’t just tweaking: I tend to break it apart and remake it every time I do a new draft.”John Jeremiah Sullivan

Hari pertama (re)writing dan revisi draft 2.0 “Frankfurt: Till We Meet Again”, ada beberapa hal yang menjadi persoalan saya hari ini sejak subuh pagi tadi yang baru saja pecah malam ini. Sejak awal permulaan derekonstruksi mencuat, saya sudah menggunakan terminologi “nafsu” sebagai akar diskusi berkepanjangan antar tokoh dalam membangun premis Film Experimental mereka.

Kalau gak salah bulan Agustus lalu, saya mengembangkan cerita sebagai reaksi inspirasi dari film “Grand Piano” yang diperankan oleh Elijah Wood sebagai Tom Selznick tentang komposisi La Cinquette dan gabungan idealisasi imaji Rose Dielune dalam mahakarya Penrose Triangle-nya Felix versi draft 1.0 sampai 1.7. Saya bertemu dengan sebuah konsep “Triad Kapitoline” yang kemudian menjadi basis obrolan yang mengakar jauh pada persoalan “nafsu”.

Sebelum “nafsu” saya kobarkan dalam dialog inti disana ada “adultery” dan ini adalah pengembangan dari premis yang di ajukan Aleksei soal perselingkuhan, dikarenakan masih terlalu universal, antara romance dan adultery saya tidak melanjutkannya, karena jika saya melanjutkannya saya akan terjebak lagi pada persoalan birahi atau “libido”. Ketika bertemu kuliah Psikoanalisis, saya mulai berkenalan lagi dengan satu term yang cukup dengat dengan “nafsu” yakni “hasrat”. Pikir saya, “nafsu” atau “lust” ini terlalu sempit untuk dipanjang lebarkan dalam dialog, seperti yang sudah-sudah saya tuliskan, perkutatan saya hanya soal tubuh dan seksualitas. Sayap saya gak mampu mengepak lebih tinggi lebih dari dua bahasan itu. Sementara jika memakai term “hasrat” maka saya mempunyai peluang yang luas untuk berbincang hal-hal yang melampau tubuh dan seksualitas bahkan mampu menembus dinding psikoanalisis-nya Hegel dan Lacan dan tak menutup kemungkinan juga Freud akan masuk lewat singgungan tokoh Tamara. Jika memakai term “hasrat” atau “desire” itu sendiri, saya dapat berekspansi kedalam bahasan terkait seperti “désir” yang juga dikenalkan oleh Lacan terkait “want” dan “wish”. Namun dari hal ini, adalah kesalahan saya, saya mengawali terminologi-terminologi ini dalam bahasa Indonesia, sementara konteks obrolan dan setting dalam cerita ini adalah di kota Frankfurt, Jerman, yang mana tokoh-tokohnya adalah orang Jerman dan Prancis. Pikir saya, ini harus direvisi dibuatkan basis konseptual dari bahasa Jerman itu sendiri dan juga bahasa Prancis. Lalu menghubungilah saya kepada saudari Dian Dwi Anisa, yang saya pikir akan lebih mengerti terkait kosa-kata bahasa Jerman. Saya mengajukan dua kata yakni “begierde” dan“begehren”, untuk menjelaskan soal “hasrat” namun sayangnya disaat ini dia belum bisa mengakses kamus yang kredibel untuk dapat saya pakai.

Tak mengapa! Melanjutkannya, saya menemukan buku berjudul “Jacques Lacan & Co: A History of Psychoanalysis in France (1925-1985)” yang ditulis Elisabeth Roudinesco. Disana saya mendapat penjelasan lengkap dari terminologi “begierde”, yang ditawarkan oleh Hegel. Begierde katanya terkait dengan “wunsch” atau dalam bahasa Inggrisnya “wish”. Finally, untuk sementara saya merevisi kembali “nafsu” dengan “begierde” yang selanjutnya akan saya arahkan menuju ke konsep-konsep Hegel dan Lacan. Selain itu saya akan menemui persoalan kedua, tentang tata kebahasaan Jerman yakni pemakaian huruf kapital diawal kata, yakni antara “begierde” dan “Begierde”, tentu saya harus berhati-hati lagi dan bertanya lagi kepada yang lebih paham.

Selamat berhasrat.

Leave a comment