(Re)writing FTWMA: Projekt Derekonstruksi Frankfurt Till We Meet Again

“Through the act of writing, a writer learns more about himself than he could ever imagine.” ― Rob Bignell

Tak terkira setahun lebih saya vakum menulis di blog ini. Hampir tak ada cerita yang hendak baik diceritakan ataupun dinukilkan. Dalam setahun itu saya memilih untuk memetik cerita diberbagai belahan tempat. Menelusuri sendi-sendi pencarian diri. Projekt Derekonstruksi ini adalah penanda kebangkitan kembali spirit yang telah lama memudar dalam historiografi saya. Frankfurt Story adalah keyworks sebuah pekerjaan yang mengambil banyak cerita hidup saya selama dua tahun ini.

Januari 2014, saya memulai penulisan Frankfurt Story, dengan judul Frankfurt: Till We Meet Again. Saya pun menghabiskan 4 bulan riset, berkenalan dan bercumbu dengan hal-hal yang berbau Jerman. 1 Mei 2014, saya mulai membuka halaman pertama. Disana jemari saya bergerak menuliskan awal mula permulaan kisah Felix dan Rosaline di Römerberg. Genap satu bulan, tepat pada 30 Mei 2014, naskah itu rampung sebanyak 155 halaman (90.380 Karakter; 15.432 Kata), lengkap dengan ending cerita. Walau tak puaspun dengan ending yang saya buatkan, saya menerima banyak masukkan dari pembaca di twiiter soal pengaturan ending itu. Tak senang dengan ending yang sedih (selalu menjadi tipikal ending di tiap tulisan saya) maupun ending yang bahagia (tentu sangat jarang saya memakai gaya happy ever after ini). Akhirnya saya membuatkan ending yang menggantung. Saya biarkan pembaca yang menafsirkannya, dan merasakannya, bahkan menentukan sendiri endingnya.

Akhirnya kini naskah Frankfurt Till We Meet Again saya buka lagi. Tak terasa sudah setahun umurnya. Wajahnya tampak pudar, sedikit keriput yang dibumbui debu-debu yang menghiasi wajahnya. Saya pun bahkan bisa mendengarkan suara rentanya bah seorang nenek tua memanggil nama saya. Tak berlama, naskah itu saya baca kembali. Rasa yang dulu masih kental, tapi rasanya tak lagi menyatu dengan rasa yang saya rasakan tepat saat itu.

“Nasibmu, Nasib kita. Harus kita rubah.”

Pada tahun 2014 lalu, saya telah menjungkirbalikan sejarah penulisan saya dengan memecahkan rekor pribadi menulis novel dalam waktu 1 bulan penuh. Tentu itu pencapaian saya yang luar biasa. Tentupula itu bukanlah hal yang mudah. Saya menuliskan buku Frankfurt Till We Meet Again (FTWMA) pada bulan 1 Mei – 30 Juni 2014, dengan menghabiskan 3 bulan riset sejak Februari 2014. Walaupun hasilnya tidak memuaskan, tapi buku naskah FTWMA telah menjadi kerangka dasar yang baik untuk perombakan selanjutnya.

Menurut pemikiran kontemporer saya, naskah FTWMA  masih ada pada tataran naskah tradisional, sehingga bertitiktolak dari pembaharuan pemikiran saya, naskah ini tertuntut untuk ditransformasikan menjadi naskah yang lebih kritis mengikuti adiknya “The Avogadro”.

Selama 1.440 Jam kedepan saya akan menghabiskan waktu bersama merevisi dan melakukan rewriting naskah FTWMA. Saya sedikit pesimis, mengingat tahun 2015 hanya tinggal kurang lebih tiga bulan lagi, The Avogadro mungkin tidak akan sempat saya rampungkan di tahun ini sebagai buku ke-8 saya. Tahun 2016 mungkin tahunnya Avogadro, sekaligus membiarkan kakaknya FTWMA menyempurnakan wujudnya sebagai sebuah tulisan yang tidak hanya ala-ala mainstream-romance tapi sebuah tulisan yang mahakritis menyesuaikan namanya sebagai tempat lahirnya para pemikir-pemikir kritis. Dengan lega, saya menyebut naskah ini sebagai naskah kritis dengan genre, critical-romance.

Adapun harapan saya, pada tanggal 30 Desember 2015, naskah ini telah rampung, utuh, dan siap masuk ke meja redaksi. Besarpun harapan saya, naskah ini berjodoh dengan salah satu major-publishing, dan di awal tahun depan, naskah ini sudah bertransfigurasi menjadi sebuah novel seutuhnya dan duduk rapi di rak toko buku, seperti Aprilo Dielova di tahun 2011 dulu.

Leave a comment